Minggu, 15 November 2009

Solusi Mendasar Penutupan Lokalisasi KM17 Balikpapan

Sejak dikeluarkannya rekomendasi MUI bulan Maret 2009 tentang penutupan Lokalisasi Km17 Balikpapan, berbagai silang pendapat masih mewarnai perdebatan masyarakat Balikpapan tentang dampak positif ataupun dampak negatif dari penutupan lokalisasi tersebut. Silang pendapat tersebut sepertinya akan dimenangkan oleh pihak pihak yang menginginkan penutupan lokalisasi terlebih setelah pemkot Balikpapan via Sayid MN Fadly (Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangundan Sedakot) menegaskan bahwa Pemkot Balikpapan berkomitment untuk menutup lokalisasi itu bahkan termasuk menghilangkan semua bentuk penyakit masyarakat.

Sebagian masyarakat merasa apatis terhadap usulan tersebut mengingat pemecahan tersebut tidak menyelesaikan masalah dan justru dikhawatirkan menyebabkan migrasi PSK ke pemukiman masyarakat sehingga menimbulkan penyebaran HIV AIDS di tengah masyarakat. Karenanya mereka menghendaki lokalisasi tersebut tidak dibubarkan namun tetap diadakan dengan disertai program pembinaan kepada para PSK

Logika klasik tersebut sebenarnya dapat dipatahkan dengan argumentasi bahwa pemkot telah lama memberikan sarana pendidikan dan pelatihan ketrampilan bagi PSK agar bisa bekerja dengan ketrampilan barunya dan meninggalkan pekerjaan haramnya tersebut . Namun sangat sedikit mantan PSK yang mau bekerja dengan ketrampilan barunya dan lebih memilih kembali ke lokalisasi untuk berkecimpung lagi di profesi haram tersebut. Bahkan telah banyak para ustadz diterjunkan untuk menasehatai para PSK namun tetap saja lokalisasi tersebut makin ramai.

Bila kita jujur terhadap permasalahan sesungguhnya dari keberadaan lokalisasi Km17 atau tempat pelacuran lainnya, maka sebenarnya permasalahannya bisa disimplikfikasi dua hal saja yaitu 1) masalah perut PSK dan 2) masalah syahwat pemakai jasa.

Pertama, kebutuhan hidup seringkali menjadi alasan bagi para PSK untuk mensahkan profesinya. Alasan ini harus dicermati dengan benar apakah memang demikian. Apakah benar PSK tersebut menjalankan profesinya untuk kebutuhan darurat ? Karena bisa jadi diantara mereka ada yang punya harta berupa tabungan, kendaraan atau bahkan tanah dan rumah. Yang paling nyata adalah PSK kelas tinggi yang tarifnya jutaan rupiah, tentu alasan kebutuhan perut menjadi alasan yang sangat naif dan mengada ada.

Kedua, masalah syahwat dari pemakai jasa PSK. Beberapa orang berkeberatan juga bila lokalisasi ditutup karena mereka tidak bisa menyalurkan syahwatnya. Sebagian masyarakat juga kuatir akan banyak terjadi perkosaan bila lokalisasi ditutup sebab para penyalur syahwat itu kehilangan tempat untuk menyalurkan nafsunya.

Untuk menganalisa kedua masalah pokok terebut, maka perlu didekati dengan pemikiran yang mendalam terhadap tiga hal :

Pertama, nalar pelaku. Solusi pendek PSK untuk memenuhi kebutuhan fisik dengan jalan melacurkan diri sungguh sangat cengeng disaat ratusan atau bahkan ribuat orang lainnya bekerja memeras keringat menjadi pengais sampah, pengumpul karton, buruh pasar, bekerja di pabrik pabrik yang tidak higienis dengan gaji dibawah UMR dan lain sebagainya. Yang menjadi masalah pokok adalah ketidakmauan bekerja pada sektor yang kotor namun halal tersebut. Demikian juga bagi para pria hidung belang, mengapa mereka tidak menikah dengan yang sanggup dinafkahi atau mengapa tidak berpoligami saja kalau perlu sampai dengan 4 istri yang kira kira sanggup dinafkahi.

Pada akirnya yang menjadi masalah adalah faktor keimanan para pelaku dan kesanggupan mereka menahan hawa nafsunya untuk melakoni pekerjaan yang berat namun halal serta untuk menyalurkan nafsu sexual dengan cara yang halal dan terhormat. Rasulullah bersabda ”Tidaklah ada dosa yang lebih besar setelah syirik melainkan seorang laki-laki meletakkan spermanya di rahim perempuan yang tidak halal baginya” HR Abi Dunya di Tafsir Ibnu Katsier. Pelakunya pun akan dirajam bila muhshon dan akan dijilid 100 kali bila ghoiru muhson.

Kedua, norma masyarakat. Masyarakat sendiri juga sebenarnya berperan langsung dalam membentuk PSK itu sendiri terutama faktor kecuekan mereka dalam membiarkan kemaksiatan yang besar atau yang kecil. Masyarakat berdiam diri dan tidak bernahi mungkar terhadap tayangan TV, VCD, koran, majalah, panggung hiburan yang mengexploitasi naluri seksual. Masyarakat juga berdiam diri melihat pasangan yang mojok ditempat gelap untuk berpacaran dan membiarkan pasangan tersebut merasakan kehangatan satu sama lain kala berdekatan. Penumpukan naluri ini mau tidak mau akan berakumulasi pada keinginan untuk menyalurkan hawa nafsu dengan cara tidak benar dengan maksud coba coba sampai akhirnya kebablasan dan sampai merasa hal yang wajar.

Semua ini terjadi karena aqidah yang mendominasi masyarakat kita adalah aqidah sekuler, yang menganggap agama itu adalah urusan di masjid saja sehingga ketika ketemu di dunia nyata (di luar masjid), kemaksiatan kemaksiatan ditempat umum itu dibiarkan karena bukan lagi area agama untuk mengaturnya.

Ketiga, faktor sistem. Negara adalah ultimate instrument pelaksanaan sistem. Ketika negara menggunakan landasan yang baik, maka akan baik tatanan masyarakatnya. Sebaliknya apabila landasan kenegaraan yang digunakan itu buruk, maka akan rusaklah tatanan kemasyarakatan.

Bentuk landasan tatanan masyarakat kita adalah sekuler religius dan secara praktik yang lebih menonjol adalah kesekulerannya. Karenany,a praktis bisa disebut bahwa landasan kenegaraan kita adalah pandangan sekuler. Demikan pula sistem ekonomi yang dipergunakan adalah ekonomi kapitalis liberalisme. Dua duanya memberikan efek buruk bagi masyarakat.

Aqidah sekuler adalah aqidah yang buruk sebab memisahkan antara aspek rohani dengan aspek jasmani dengan jalan menjauhkan agama dari kehidupan praktis kemasyarakatan termasuk pula aspek ekonomi hukum dan kenegaraan. Pandangan itulah yang menyebabkan masyarakat yang kehilangan makna hidup karena tujuan hidup bukan lagi untuk mengabdi pada Allah SWT melainkan untuk menuruti hawa nafsu mengejar kepuasan materiel baik itu konsumerisme ataupun hedonisme.

Aqidah yang sekuler juga menyebabkan masyarakat tidak percaya bahwa Allah SWT mengatur rejeki seadil adilnya, karena Allah SWT tidak ada didunia nyata termasuk didunia kerja. Halal haram bukan lagi hal yang harus dibicarakan ketika mencari penghasilan. Sekulerisme juga menghilangkan sifah qona’ah (merasa cukup) terhadap pemberian Allah SWT. Selalu merasa kurang dan merasa kurang. Akibatnya, hilang juga kemauan untuk berbagi rezeki menolong sesama baik itu saudara atau tetangga yang membutuhkan sehingga akhirnya saudara/tetangga yang membutuhkan dana terpaksa memenuhi kebutuhan dengan cara yang haram.

Keadaan ini diperparah dengan diadopsinya ekonomi liberalis sebagai konsukuensi normal ketika aqidah sebuah aqidah sekuler dipegang. Ekonomi liberalis yang terlanjur telah menyatu dengan urat nadi setiap anak negeri dan menjadi inspirasi pada setiap pemikiran dan solusi berekonomi, menyebabkan berkurangnya lahan pekerjaan sebab semua sumber sumber ekonomi publik dikuasai oleh para kapital termasuk sumber modal yang menumpuk di bank bank konvensional ataupun di bank syariah.

Disaat banyak warga memerlukan modal untuk kegiatan usaha produktif justru alih alih bank bank konvensional menyalurkan buat usaha mikro menengah, justru mereka berlaku safe dengan cara menyimpan uangnya dalam bentuk SBI ataupun bahkan menjadi lender bursa uang. Demikan pula bank bank syariah baru besar prosentasenya di akad murabahah yang mencapai 85%, sementara pembiayaan Mudarabah (bagi hasil) baru 15%. Artinya bank bank syariah juga baru berani mengambil resiko penyaluran kredit yang aman daripada memaksimalkan ekonomi rakyat dengan cara syar’i yaitu bagi hasil.

Ekonomi liberalis dicampur aqidah sekuler berkombinasi menghasilkan program ekonomi liar yang berorientasi pada manfaat hasil materi / uang. Segala cara bisa dikomersialisasikan untuk mendapatkan uang hingga mengorbankan aspek sosial dan masa depan generasi mendatang seperti eksploitasi sexual, perdagangan materi porno seperti majalah, VCD, telepon mesra, obat/alat sex dll semuanya dijajankan secara terbuka atau terselubung yang pada hakekannya semua orang pada tahu bahwa hal itu ada namun berdiam diri. Akibatnya lama kelamaan semua itu dianggap sebagai hal yang wajar wajar saja oleh masyarakat kini. Ini juga yang menyebabkan semakin lemahnya kontrol sosial masyarakat terhadap hal hal tersebut.

Aqidah sekuler juga menimbulkan ironi, disaat masyarakat cuek terhadap lingkungan serta membiarkan terjadinya pelacuran mereka juga menolak adanya pelacur disekitar mereka bahkan mengata-ngatai mereka dengan sampah masyarakat dan lain lain sehingga akhirnya para PSK tidak ada yang mau kembali ke kampung masing masing sebab tidak kuat menerima cemoohan dari lingkungannya biarpun pada awalnya mereka ingin memperbaiki diri.

Karenanya penyelesaian masalah lokalisasi bukanlah hal yang sederhana. Bila tidak dimulai dari pembenahan paling mendasar yaitu permasalahan aqidah dan sistem, maka setiap kali penutupan pasti akan menghasilkan kekuatiran serta resistensi dari masyarakat plus akan sekedar memindahkan tempat pelacuran ke tempat yang lainnya saja sehingga masalah itu sendiri tidak pernah habis.

Solusi cepat jangka pendek memang adalah dengan jalan membubarkan lokalisasi km17 dengan segera serta mendata PSK dan mengontrol masing masing untuk memastikan mereka tidak melakukan kegiatan haramnya itu lagi ditempat. Dalam waktu yang sama PSK yang belum diberi ketrampilan bekerja tetap harus dididik untuk mendapatkan ketrampilan kerja dan dipastikan pula tetangga dan saudara-saudaranya menerima serta membantu kehidupannya mereka selama belum mendapat pekerjaan. Sementara yang sudah mendapat pelatihan tidak perlu dilatih lagi karena masih banyak anggota masyarakat selain PSK yang memerlukan pelatihan kerja.

Solusi jangka menengah adalah dengan memperbaiki aqidah masyarakat dengan jalan dakwah. Pemerintah sebagai ultimate instrument harus terdepan untuk memperbaiki aqidah masyarakat dengan melibatkan ulama, bukan sebaliknya yaitu ulama yang aktif melibatkan pemerintah, sementara pemerintahnya yang pasif. Hal ini karena pada dasarnya tanggung jawab perbaikan masyarakat itu ada pada tangan pemerintah. Ulama hanya bergerak pada scope yang terbatas karena kemampuan dan jangkauan kekuasaannya yang terbatas pula.

Pemerintah harus tampil terdepan untuk memberantas kemungkaran serta menjadi contoh dalam memberantas kemungkaran. Oknum yang mencontohkan atau bahkan melindungi kemungkaran harus dihukum seberat beratnya. Demikian juga pemerintah harus menginstruksikan para ulama untuk menyampaikan kepada masyarakat pentingnya amar ma’ruf nahi mungkar serta menyampaikan pentingnya sinergi pemerintah ulama dan masyarakat dalam memberantas kemungkaran. Bukan rahasia lagi bila masih banyak ulama yang takut untuk bernahi mungkar terutama untuk mengecam instansi atau oknum sebab barangkali masih terbayang periode orde baru yang mengekang kebebasan berbicara terutama kepada para ulama dan aktivis islam yang selalu dianggap musuh pembangunan.

Terakhir pemerintah juga harus mulai menginisiatif untuk menggantikan sistem kapitalis menjadi sistem islam menggantikan sistem kapitalis yang berlaku saat ini. Sistem kapitalis telah terlihat kegagalannya dalam menciptakan kesempatan ekonomi yang adil dan pemerataan hasil ekonomi karena sistem kapitalis hanya menciptakan kelangkaan modal sehingga menyebabkan kelangkaan kerja dan berakhir pada kemiskinan massal. Akibatnya sebagian anggota masyarakat banyak yang lemah imannya terpaksa mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk dengan cara melacurkan diri.

Sistem Islam adalah solusi yang telah disiapkan oleh Allah SWT untuk kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan di akhirat. Sistem itu pernah ada dan berlangsung selama 13 abad, terbukti keampuahannya dalam mendatangkan ketentraman meski akhirnya runtuh karena rongrongan dan tipudaya yahudi dan kapitalis borjuis yang pada akhirnya justru memiskinkan seluruh dunia dan menumpukkan 80% kekayaan dunia pada 10% manusia sedang 90% lainnya harus memperebutkan sisa 20% kekayaan dunia.

Tanpa itu semua maka penutupan lokalisasi hanya menjadi kegiatan sulam yang makin lama justru makin besar sulamannya dan bisa jadi suatu saat akan dianggap sebagai kemestian dan menjadi kebutuhan umum sehingga tidak perlu lagi diganggu gugat keberadaannya. Apa itu yang kita mau ?

Wassalam [M.Nugroho]

0 komentar:

Posting Komentar

 

NO COPYRIGHT © IN ISLAM 2009 - BADAN KOORDINASI LEMBAGA DAKWAH KAMPUS KOTA BALIKPAPAN MADINATUL IMAN - KALTIM