Minggu, 15 November 2009

Soempah Pemoeda, Cikal Bakal Ashabiyah

PERTAMA. KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.

KEDOEA, KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.

KETIGA, KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA, MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.

Kalimat tersebut merupakan hasil dari Kongres Pemuda yang diucapkan sebagai sumpah setia yang dilaksanakan pada hari Minggu, 28 Oktober 1928 bertempat di di Gedung Oost-Java Bioscoop (sekarang Gedung Keramat 106 Jakarta).

Kongres yang digagas oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Lapangan Banteng. Dalam sambutannya, Soegondo berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Jamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.

Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, sependapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.

Pada sesi berikutnya, Soenario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.

Kongres Pemuda II yang menghabiskan dana f250 atau setara gaji satu bulan pegawai Pemerintah Hindia-Belanda lulusan Stovia atau Sekolah Hakim pada waktu itu, dihadiri dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, PPI, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie serta Kwee Thiam Hong sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond.

Sumpah Pemuda Adalah Ikatan Ashobiyyah

Seperti kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk sosial. Satu dengan yang lainnya saling membutuhkan. Agar tercipta kehidupan bersama yang harmonis, tidak memicu pertentangan dan permusuhan dibuatlah ikatan-ikatan, yang menjadi sebuah peraturan/konsensus yang harus ditaati oleh seluruh unsur masyarakat. Ikatan-ikatan tersebut bentuknya bermacam-macam, bisa berbentuk norma-norma, peraturan hukum, ideologi dan sejenisnya.

Salah satu dari berbagai macam ikatan itu adalah ikatan kesukuan. Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ikatan kesukuan tumbuh di tengah-tengah masyarakat pada saat pemikiran manusia mulai sempit. Sebab munculnya ikatan kesukuan ini karena manusia itu, pada dasarnya memiliki naluri ingin mempertahankan diri (survive), lalu muncul pada dirinya keinginan untuk berkuasa. Keinginan ini muncul hanya pada individu yang rendah taraf pemikirannya (An-Nabhani, Nizhomul Islam). Untuk meluaskan pengaruh kekuasaannya itu, tidak jarang berhadapan dengan suku-suku lain, sehingga menimbulkan pertentangan-pertentangan lokal antar suku. Kepentingan dan pembelaan berdasarkan golongan, termasuk suku bangsa, di dalam istilah Islam dikenal dengan nama ashabiyah atau ta’ashub.

Jadi, ikatan kesukuan merupakan ikatan yang rusak. Tidak layak dijadikan pengikat antar manusia, karena memiliki beberapa aspek:

  • Ikatan ini berdasarkan pada suku/keturunan etnis tertentu, sehingga tidak dapat dijadikan pengikat dalam sebuah masyarakat yang penduduknya heterogen. Apalagi jika masyarakat itu berbentuk sebuah peradaban besar yang mencakup berbagai suku, bangsa, ras, asal geografis dan sebagainya.
  • Ikatan ini bersifat emosional, selalu didasarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri.
  • Ikatan ini juga tidak manusiawi, karena menimbulkan pertentangan dan perselisihan antar sesama manusia, terutama dalam berebut kekuasaan.

Ikatan kesukuan hanya mengurung akal manusia dalam pemikiran yang picik dan sempit.

Ikatan inilah yang dipergunakan oleh Barat dalam memecah belah umat Islam dengan menanamkan tsaqafah ini kepada pemikiran-pemikiran kaum muslimin. Tsaqafah inilah yang dipergunakan Barat untuk menghacurkan Khilafah Islam pada tahun 1924M. Dan setelah menghancurkan Khilafah Islam, tsaqafah ini masih terus ditanamkan kepada kaum muslimin.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Ad-Daulah Al-Islamiyah pada bab muqaddimah mengibaratkan Barat yang menanamkan tsaqafah ashabiyah yang telah dijadikan senjata untuk menghancurkan Khilafah Islam (ibu dari kaum muslimin) dan kemudian menanamkannya kepada kaum muslimin (anak cucu Khilafah Islam) dengan istilah : ”Sungguh aku telah membunuh ibu kalian yang memang patut untuk dibunuh lantaran perawatannya yang buruk terhadap kalian. Sekarang aku menjanjikan perawatan yang membuat kalian bisa merasakan kebahagiaan hidup dan kenikmatan yang nyata.” Namun sayangnya, anak cucu Khilafah (kaum muslimin) menerima uluran tangan si pembunuh, padahal senjata sang pembunuh yang terhunus masih berlumuran darah ibu mereka.

Kaum muslimin yang sudah dipecah belah oleh Barat, kemudian mengambil tsaqafah Barat dengan mengadakan kongres pemuda di Jakarta. Mereka tidak lagi bersatu dalam ukhuwah Islamiyah, namun mereka bersatu dalam ashabiyah nasionalisme. Mereka tidak lagi memikirkan saudara seimannya di wilayah lain, mereka hanya memikirkan nasib wilayahnya sendiri yaitu Indonesia.

Umat Islam lupa akan bahaya tsaqafah ini. Mereka memerangi penjajah, namun pada saat yang sama, mereka pun mengambil tsaqafah-nya. Padahal, tsaqafah itulah yang membuat mereka terjajah.

Ikatan Ukhuwah, ikatan yang shohih.

Islam tidak mengenal ikatan apapun, selain ikatan iman dan ukhuwah Islamiyah, untuk seluruh kaum Muslimin. Ikatan ini berarti hanya menjadikan akidah Islam, mabda (ideologi) Islam, sebagai satu-satunya pengikat antar kaum Muslimin. Ikatan-ikatan lainnya seperti ikatan kelompok, golongan, suku, keluarga, bangsa/nasionalisme, dan sejenisnya masuk dalam kategori ikatan-ikatan yang mempropagandakan syi’ar-syi’ar Jahiliyah.

Islam, muncul untuk merobohkan ikatan-ikatan semacam itu, membersihkannya, kemudian membangunnya dengan akidah Islam dan mabda (ideologi) Islam yang satu, pemimpin yang satu, negara yang satu, syariat (sistem hukum) yang satu.

Kecaman Islam terhadap para penganut paham sukuisme, fanatisme golongan dan sejenisnya amat keras, sampai-sampai Rasulullah saw juga bersabda:

“Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyerukan ashabiyah, orang yang berperang karena ashabiyah, serta orang-orang yang mati karena membela ashabiyah.”
(HR. Abu Dawud)

Artinya, kaum Muslimin yang terlibat dalam fanatisme golongan/kesukuan (ashabiyah), dianggap ‘bukan dari golongan kami’, yaitu bukan termasuk kaum Muslimin. Seruannya, pembelaannya, bahkan pertarungannya membela golongan/kelompok/suku hanyalah perbuatan sia-sia dan hina!

Dalam hadits-hadits lain, kecaman Islam terhadap penganut ashabiyah lebih ’seram’, sehingga Rasulullah mencapnya seperti ‘bahan bakar api neraka’, ‘lebih rendah dari cacing tanah’, ‘lebih baik menggigit kemaluan bapaknya’. Semua itu menunjukkan perbuatan hina dan menjijikkan, dan jelas-jelas berdosa. Di depan Islam, derajat mereka lebih rendah dari binatang, malah lebih rendah dari cacing tanah!

Oleh Raden Mas Bejo [HalaqahOnline]


0 komentar:

Posting Komentar

 

NO COPYRIGHT © IN ISLAM 2009 - BADAN KOORDINASI LEMBAGA DAKWAH KAMPUS KOTA BALIKPAPAN MADINATUL IMAN - KALTIM