Selasa, 01 Desember 2009

Pesan VCD Dokumentasi Kongres Mahasiswa Islam Indonesia

Image

VCD Dokumentasi Kongres Mahasiswa Islam Indonesia (Jakarta Ahad, 18 Oktober 2009)
Harga Rp. 12.500,-* (Satu Keping)
Diskon Khusus untuk pembelian skala besar (min 10 pcs)
Pemesanan:
Andi Perdana 081324010428
Zainal 08989269728
Cat. *Plus ongkos kirim (via pos) sesuai wilayah
Transfer dana untuk dapat dilakukan pengiriman barang
Read rest of entry

Senin, 23 November 2009

Photo Delegasi Dari Balikpapan Bersama Mahasiswa Samarinda, Bontang dan Lainnya - Kongres Mahasiswa Islam Indonesia

erikut adalah beberapa photo Mahasiswa Ideologis delegasi dari Balikpapan yang dikirim dalam event akbar yaitu Kongres Mahasiswa Islam Indonesia (KMII) 2009 di Jakarta. Kongres terbesar dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia.
















Read rest of entry

Sabtu, 21 November 2009

TRAINING BKLDK Balikpapan - Celestial Inspiration : "berlayar menuju negeri impian ..."

TRAINING BKLDK Balikpapan

Celestial Inspiration
"berlayar menuju negeri impian ..."

Bersama :
SALMAN AL_FARIZI
(Badan Eksekutif BKLDK-Nasional)
Ahad, 6 Desember 2009
Jam 09.00 WITA - Selesai...
di Ruang Serbaguna Kampus STIE Balikpapan (STIEPAN)
Kompleks Perkampungan Pelajar Gn. Pasir Balikpapan

CP :
- Kang Eko (085247986640)
- Jundu Azzam (0852 47760180)


Read rest of entry

Jumat, 20 November 2009

Para Penentang Syariah Pasti Kalah

Setiap perjalanan dakwah Islam selalu saja ada pihak-pihak yang menjadi penghalang. Ketika dakwah Rasulullah SAW mulai di gencarkan di tengah-tengah masyarakat, muncul nama-nama beken macam Abu lahab dan Abu Jahal yang begitu getol merintangi dakwah Islam.

Hampir sama dengan kondisi pada saat ini, para penentang dakwah Islam kembali tampil bak burung emprit yang mengganggu tanaman padi. Mereka mencoba merusak semuanya, berbagai cara pun digunakan dengan harapan jangan sampai Islam secara utuh untuk diamalkan (kaffah). Slogan-slogan murahan seperti “Say no to khilafah”, “Selamatkan Indonesia dari syariah”, “Anti Syariah Islam” sering keluar dari mulut-mulut para penentang Ideologi Islam tersebut.


Diantara mereka juga ada yang dari kalangan umat Islam, mereka telah terpengaruh dengan cara berpikir barat. Virus sekulerisme, pluralisme dan liberalisme memang telah lama di cekok-an oleh kafir penjajah ke tengah-tengah ummat dengan harapan agar Islam tidak lagi exist sebagai sebuah Ideologi, cukuplah Islam hanya ibadah ritual dan spiritual semata.

Proses sipilis (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme) di Indonesia sendiri sebenarnya muncul dengan tidak tiba-tiba, pada tahun 1970an, Nur cholis madjid tampil ke permukaan bagai pahlawan kesiangan dengan semboyan yang lumayan terkenal yakni “Islam yes, partai Islam No”. Pernah ia mengatakan bahwa fundamentalis agama lebih berbahaya dari narkoba. Dibelakang cak Nur berjajar nama-nama seperti Mukti Ali (menteri agama), Munawir Sadzali, Harun Nasutioan (rector IAIN syarif hidayatullah waktu itu). Para pelajar dari Indonesia dikirim ke Barat kemudian di cuci otaknya, setelah pulang membawa oleh-oleh buah pemikiran asing (sipilis).

Pada masa sekarang, proyek ini disokong oleh lembaga-lembaga internasional semacam The Asia Foundatioan,Australia Aid, USAid, Yayasan Tifa, DLL. Mereka mengucurkan dana sampai jutaan Dolar AS guna memuluskan proyek liberalisasi ini.

Tercatat beberapa lembaga yang menerima dana ini adalah: BKSPPI, JIL, PP Muhammadiyah, Wahid Institute, Fatayat NU, Fahmina Institute, Uin Alaudin Makasar, University louksumawe,MMD dikti, Balqis Women, Lakspedam NU, LPP Aisyiah, IMM, Radio 68H, Pemuda Muhammadiyah Aceh, PUSHAM UII, Pusat studi wanita UIN, LABDA, Laboratorium dakwah shalahudin, Nasyiatul Aisyiah Aceh, Ikatan Remaja Muhammadiyah, Percik, LK3, ICIP, Univ. Paramadina, LkiS, LKPMP, Majalah syir’ah, Fahmina institute dan lain-lain. (Kompilasi laporan tahun 2004, 2005, 2006, 2007: Asia Foundation, AusAid, USAID dan yayasan Tifa [Geoerge Soros], www.suara-islam.com)

Ulil Abshor sendiri pernah mengatakan kepada hidayatullah.com bahwa UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) pun tak luput ketiban gemerincing dolar dari The Asia Foundation untuk melancarkan program liberalisasi ini. “Selain kami ada juga ormas Islam yang menerima dana dari TAF program Islam and Civil Society. Mereka itu adalah Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Muhammadiyah Solo, dan Departemen Agama. Dana yang diterima JIL jauh lebih kecil daripada mereka”. Ungkap ulil.

Ketika ditanya berapa JIL mendapat kucuran dana? Koordinator Jaringan Islam Liberal itu menjawab “Setiap tahun kami mendapat sekitar Rp 1,4 milyar. Selain itu, JIL juga mendapatkan dana dari sumber-sumber domestik, Eropa, dan Amerika. Tapi yang paling besar dari TAF". (hidayatullah.com).

Program Liberalisasi

Sebagaimana di jelaskan oleh Dr. Adian Husaini ada tiga progam pokok liberalisasi yang di usung oleh mereka, yakni Liberalisasi dalam aqidah Islam (Pluralisme agama), liberalisasi konsep wahyu (menggugat otentisitas mushaf utsmani) dan Liberalisasi syariah dan akhlak.(Liberalisasi Islam di Indonesia, 2006).

Karena itu kita tidak boleh menyerah, derap perang pemikiran (goswhul fikri) harus tetap di galakkan. Pemikiran-pemikiran bathil seperti ini sangat berbahaya jika terus-terusan dibiarkan menjalar ke tengah-tengah masyarakat. Jangan biarkan mereka melakukan inviltrasi ke organisasi-organisasi Islam seperti NU, Muhammdiyah dan lainya. Agen sipilis ini sebenarnya hanya segelintir orang, namun dengan uang, banyak media massa memanjakannya.

Bagi para pejuang syariah, tidak ada jalan lain kecuali tetap istiqomah memperjuangkan syariah dan selalu memohon atas pertolongan-Nya. Sungguh, pertolongan Allah itu amat dekat.

“Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”.(QS. Al-Baqarah: 214)”.

Dalam sejarah mereka selalu kalah, dan pasti akan kembali kalah. Mungkin mereka tidak tahu, bahwa apa yang dilakukannya hanyalah sia-sia belaka. Allah SWT berfirman:

"Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci; Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang-orang musyrik benci." (QS Ash-Shaff : 8-9).

Yakinlah yang bathil pasti lenyap. Allah SWT telah menegaskan “Sebenarnya kami melemparkan yang hak (benar) kepada yang batil (tidak benar), lalu yang hak itu menghancurkannya, maka seketika itu (yang batil) lenyap. (QS. 21:18). Karenanya, ketika kebenaran datang, semua yang batil akan lenyap. “Sungguh, yang batil itu pasti lenyap !” (QS. 17: 81). Wallohu a'lam bi ash shawab.

Ali Mustofa (Lajnah I'lamiyah Gema Pembebasan Soloraya)
Read rest of entry

Minggu, 15 November 2009

Solusi Mendasar Penutupan Lokalisasi KM17 Balikpapan

Sejak dikeluarkannya rekomendasi MUI bulan Maret 2009 tentang penutupan Lokalisasi Km17 Balikpapan, berbagai silang pendapat masih mewarnai perdebatan masyarakat Balikpapan tentang dampak positif ataupun dampak negatif dari penutupan lokalisasi tersebut. Silang pendapat tersebut sepertinya akan dimenangkan oleh pihak pihak yang menginginkan penutupan lokalisasi terlebih setelah pemkot Balikpapan via Sayid MN Fadly (Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangundan Sedakot) menegaskan bahwa Pemkot Balikpapan berkomitment untuk menutup lokalisasi itu bahkan termasuk menghilangkan semua bentuk penyakit masyarakat.

Sebagian masyarakat merasa apatis terhadap usulan tersebut mengingat pemecahan tersebut tidak menyelesaikan masalah dan justru dikhawatirkan menyebabkan migrasi PSK ke pemukiman masyarakat sehingga menimbulkan penyebaran HIV AIDS di tengah masyarakat. Karenanya mereka menghendaki lokalisasi tersebut tidak dibubarkan namun tetap diadakan dengan disertai program pembinaan kepada para PSK

Logika klasik tersebut sebenarnya dapat dipatahkan dengan argumentasi bahwa pemkot telah lama memberikan sarana pendidikan dan pelatihan ketrampilan bagi PSK agar bisa bekerja dengan ketrampilan barunya dan meninggalkan pekerjaan haramnya tersebut . Namun sangat sedikit mantan PSK yang mau bekerja dengan ketrampilan barunya dan lebih memilih kembali ke lokalisasi untuk berkecimpung lagi di profesi haram tersebut. Bahkan telah banyak para ustadz diterjunkan untuk menasehatai para PSK namun tetap saja lokalisasi tersebut makin ramai.

Bila kita jujur terhadap permasalahan sesungguhnya dari keberadaan lokalisasi Km17 atau tempat pelacuran lainnya, maka sebenarnya permasalahannya bisa disimplikfikasi dua hal saja yaitu 1) masalah perut PSK dan 2) masalah syahwat pemakai jasa.

Pertama, kebutuhan hidup seringkali menjadi alasan bagi para PSK untuk mensahkan profesinya. Alasan ini harus dicermati dengan benar apakah memang demikian. Apakah benar PSK tersebut menjalankan profesinya untuk kebutuhan darurat ? Karena bisa jadi diantara mereka ada yang punya harta berupa tabungan, kendaraan atau bahkan tanah dan rumah. Yang paling nyata adalah PSK kelas tinggi yang tarifnya jutaan rupiah, tentu alasan kebutuhan perut menjadi alasan yang sangat naif dan mengada ada.

Kedua, masalah syahwat dari pemakai jasa PSK. Beberapa orang berkeberatan juga bila lokalisasi ditutup karena mereka tidak bisa menyalurkan syahwatnya. Sebagian masyarakat juga kuatir akan banyak terjadi perkosaan bila lokalisasi ditutup sebab para penyalur syahwat itu kehilangan tempat untuk menyalurkan nafsunya.

Untuk menganalisa kedua masalah pokok terebut, maka perlu didekati dengan pemikiran yang mendalam terhadap tiga hal :

Pertama, nalar pelaku. Solusi pendek PSK untuk memenuhi kebutuhan fisik dengan jalan melacurkan diri sungguh sangat cengeng disaat ratusan atau bahkan ribuat orang lainnya bekerja memeras keringat menjadi pengais sampah, pengumpul karton, buruh pasar, bekerja di pabrik pabrik yang tidak higienis dengan gaji dibawah UMR dan lain sebagainya. Yang menjadi masalah pokok adalah ketidakmauan bekerja pada sektor yang kotor namun halal tersebut. Demikian juga bagi para pria hidung belang, mengapa mereka tidak menikah dengan yang sanggup dinafkahi atau mengapa tidak berpoligami saja kalau perlu sampai dengan 4 istri yang kira kira sanggup dinafkahi.

Pada akirnya yang menjadi masalah adalah faktor keimanan para pelaku dan kesanggupan mereka menahan hawa nafsunya untuk melakoni pekerjaan yang berat namun halal serta untuk menyalurkan nafsu sexual dengan cara yang halal dan terhormat. Rasulullah bersabda ”Tidaklah ada dosa yang lebih besar setelah syirik melainkan seorang laki-laki meletakkan spermanya di rahim perempuan yang tidak halal baginya” HR Abi Dunya di Tafsir Ibnu Katsier. Pelakunya pun akan dirajam bila muhshon dan akan dijilid 100 kali bila ghoiru muhson.

Kedua, norma masyarakat. Masyarakat sendiri juga sebenarnya berperan langsung dalam membentuk PSK itu sendiri terutama faktor kecuekan mereka dalam membiarkan kemaksiatan yang besar atau yang kecil. Masyarakat berdiam diri dan tidak bernahi mungkar terhadap tayangan TV, VCD, koran, majalah, panggung hiburan yang mengexploitasi naluri seksual. Masyarakat juga berdiam diri melihat pasangan yang mojok ditempat gelap untuk berpacaran dan membiarkan pasangan tersebut merasakan kehangatan satu sama lain kala berdekatan. Penumpukan naluri ini mau tidak mau akan berakumulasi pada keinginan untuk menyalurkan hawa nafsu dengan cara tidak benar dengan maksud coba coba sampai akhirnya kebablasan dan sampai merasa hal yang wajar.

Semua ini terjadi karena aqidah yang mendominasi masyarakat kita adalah aqidah sekuler, yang menganggap agama itu adalah urusan di masjid saja sehingga ketika ketemu di dunia nyata (di luar masjid), kemaksiatan kemaksiatan ditempat umum itu dibiarkan karena bukan lagi area agama untuk mengaturnya.

Ketiga, faktor sistem. Negara adalah ultimate instrument pelaksanaan sistem. Ketika negara menggunakan landasan yang baik, maka akan baik tatanan masyarakatnya. Sebaliknya apabila landasan kenegaraan yang digunakan itu buruk, maka akan rusaklah tatanan kemasyarakatan.

Bentuk landasan tatanan masyarakat kita adalah sekuler religius dan secara praktik yang lebih menonjol adalah kesekulerannya. Karenany,a praktis bisa disebut bahwa landasan kenegaraan kita adalah pandangan sekuler. Demikan pula sistem ekonomi yang dipergunakan adalah ekonomi kapitalis liberalisme. Dua duanya memberikan efek buruk bagi masyarakat.

Aqidah sekuler adalah aqidah yang buruk sebab memisahkan antara aspek rohani dengan aspek jasmani dengan jalan menjauhkan agama dari kehidupan praktis kemasyarakatan termasuk pula aspek ekonomi hukum dan kenegaraan. Pandangan itulah yang menyebabkan masyarakat yang kehilangan makna hidup karena tujuan hidup bukan lagi untuk mengabdi pada Allah SWT melainkan untuk menuruti hawa nafsu mengejar kepuasan materiel baik itu konsumerisme ataupun hedonisme.

Aqidah yang sekuler juga menyebabkan masyarakat tidak percaya bahwa Allah SWT mengatur rejeki seadil adilnya, karena Allah SWT tidak ada didunia nyata termasuk didunia kerja. Halal haram bukan lagi hal yang harus dibicarakan ketika mencari penghasilan. Sekulerisme juga menghilangkan sifah qona’ah (merasa cukup) terhadap pemberian Allah SWT. Selalu merasa kurang dan merasa kurang. Akibatnya, hilang juga kemauan untuk berbagi rezeki menolong sesama baik itu saudara atau tetangga yang membutuhkan sehingga akhirnya saudara/tetangga yang membutuhkan dana terpaksa memenuhi kebutuhan dengan cara yang haram.

Keadaan ini diperparah dengan diadopsinya ekonomi liberalis sebagai konsukuensi normal ketika aqidah sebuah aqidah sekuler dipegang. Ekonomi liberalis yang terlanjur telah menyatu dengan urat nadi setiap anak negeri dan menjadi inspirasi pada setiap pemikiran dan solusi berekonomi, menyebabkan berkurangnya lahan pekerjaan sebab semua sumber sumber ekonomi publik dikuasai oleh para kapital termasuk sumber modal yang menumpuk di bank bank konvensional ataupun di bank syariah.

Disaat banyak warga memerlukan modal untuk kegiatan usaha produktif justru alih alih bank bank konvensional menyalurkan buat usaha mikro menengah, justru mereka berlaku safe dengan cara menyimpan uangnya dalam bentuk SBI ataupun bahkan menjadi lender bursa uang. Demikan pula bank bank syariah baru besar prosentasenya di akad murabahah yang mencapai 85%, sementara pembiayaan Mudarabah (bagi hasil) baru 15%. Artinya bank bank syariah juga baru berani mengambil resiko penyaluran kredit yang aman daripada memaksimalkan ekonomi rakyat dengan cara syar’i yaitu bagi hasil.

Ekonomi liberalis dicampur aqidah sekuler berkombinasi menghasilkan program ekonomi liar yang berorientasi pada manfaat hasil materi / uang. Segala cara bisa dikomersialisasikan untuk mendapatkan uang hingga mengorbankan aspek sosial dan masa depan generasi mendatang seperti eksploitasi sexual, perdagangan materi porno seperti majalah, VCD, telepon mesra, obat/alat sex dll semuanya dijajankan secara terbuka atau terselubung yang pada hakekannya semua orang pada tahu bahwa hal itu ada namun berdiam diri. Akibatnya lama kelamaan semua itu dianggap sebagai hal yang wajar wajar saja oleh masyarakat kini. Ini juga yang menyebabkan semakin lemahnya kontrol sosial masyarakat terhadap hal hal tersebut.

Aqidah sekuler juga menimbulkan ironi, disaat masyarakat cuek terhadap lingkungan serta membiarkan terjadinya pelacuran mereka juga menolak adanya pelacur disekitar mereka bahkan mengata-ngatai mereka dengan sampah masyarakat dan lain lain sehingga akhirnya para PSK tidak ada yang mau kembali ke kampung masing masing sebab tidak kuat menerima cemoohan dari lingkungannya biarpun pada awalnya mereka ingin memperbaiki diri.

Karenanya penyelesaian masalah lokalisasi bukanlah hal yang sederhana. Bila tidak dimulai dari pembenahan paling mendasar yaitu permasalahan aqidah dan sistem, maka setiap kali penutupan pasti akan menghasilkan kekuatiran serta resistensi dari masyarakat plus akan sekedar memindahkan tempat pelacuran ke tempat yang lainnya saja sehingga masalah itu sendiri tidak pernah habis.

Solusi cepat jangka pendek memang adalah dengan jalan membubarkan lokalisasi km17 dengan segera serta mendata PSK dan mengontrol masing masing untuk memastikan mereka tidak melakukan kegiatan haramnya itu lagi ditempat. Dalam waktu yang sama PSK yang belum diberi ketrampilan bekerja tetap harus dididik untuk mendapatkan ketrampilan kerja dan dipastikan pula tetangga dan saudara-saudaranya menerima serta membantu kehidupannya mereka selama belum mendapat pekerjaan. Sementara yang sudah mendapat pelatihan tidak perlu dilatih lagi karena masih banyak anggota masyarakat selain PSK yang memerlukan pelatihan kerja.

Solusi jangka menengah adalah dengan memperbaiki aqidah masyarakat dengan jalan dakwah. Pemerintah sebagai ultimate instrument harus terdepan untuk memperbaiki aqidah masyarakat dengan melibatkan ulama, bukan sebaliknya yaitu ulama yang aktif melibatkan pemerintah, sementara pemerintahnya yang pasif. Hal ini karena pada dasarnya tanggung jawab perbaikan masyarakat itu ada pada tangan pemerintah. Ulama hanya bergerak pada scope yang terbatas karena kemampuan dan jangkauan kekuasaannya yang terbatas pula.

Pemerintah harus tampil terdepan untuk memberantas kemungkaran serta menjadi contoh dalam memberantas kemungkaran. Oknum yang mencontohkan atau bahkan melindungi kemungkaran harus dihukum seberat beratnya. Demikian juga pemerintah harus menginstruksikan para ulama untuk menyampaikan kepada masyarakat pentingnya amar ma’ruf nahi mungkar serta menyampaikan pentingnya sinergi pemerintah ulama dan masyarakat dalam memberantas kemungkaran. Bukan rahasia lagi bila masih banyak ulama yang takut untuk bernahi mungkar terutama untuk mengecam instansi atau oknum sebab barangkali masih terbayang periode orde baru yang mengekang kebebasan berbicara terutama kepada para ulama dan aktivis islam yang selalu dianggap musuh pembangunan.

Terakhir pemerintah juga harus mulai menginisiatif untuk menggantikan sistem kapitalis menjadi sistem islam menggantikan sistem kapitalis yang berlaku saat ini. Sistem kapitalis telah terlihat kegagalannya dalam menciptakan kesempatan ekonomi yang adil dan pemerataan hasil ekonomi karena sistem kapitalis hanya menciptakan kelangkaan modal sehingga menyebabkan kelangkaan kerja dan berakhir pada kemiskinan massal. Akibatnya sebagian anggota masyarakat banyak yang lemah imannya terpaksa mengambil jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk dengan cara melacurkan diri.

Sistem Islam adalah solusi yang telah disiapkan oleh Allah SWT untuk kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan di akhirat. Sistem itu pernah ada dan berlangsung selama 13 abad, terbukti keampuahannya dalam mendatangkan ketentraman meski akhirnya runtuh karena rongrongan dan tipudaya yahudi dan kapitalis borjuis yang pada akhirnya justru memiskinkan seluruh dunia dan menumpukkan 80% kekayaan dunia pada 10% manusia sedang 90% lainnya harus memperebutkan sisa 20% kekayaan dunia.

Tanpa itu semua maka penutupan lokalisasi hanya menjadi kegiatan sulam yang makin lama justru makin besar sulamannya dan bisa jadi suatu saat akan dianggap sebagai kemestian dan menjadi kebutuhan umum sehingga tidak perlu lagi diganggu gugat keberadaannya. Apa itu yang kita mau ?

Wassalam [M.Nugroho]

Read rest of entry

SUMPAH PEMUDA; Kilas Balik Perjalanan Mahasiswa Indonesia

1. Gerakan Mahasiswa 1908

Lahirnya generasi pertama lapisan pemuda berpendidikan modern, sebenarnya bukanlah produk sosial yang murni berasal dari rakyat Indonesia. Kehadiran mereka merupakan produk situasi atau didorong oleh perubahan sikap politik pemerintahan kolonial Belanda terhadap negeri ini. Melalui kebijakan “Politik Etis” yang diciptakan Belanda setelah menjajah lebih dari tiga ratus tahun di atas bumi persada, kaum pribumi khususnya lapisan pemuda, mendapatkan kesempatan untuk masuk ke lembaga-lembaga pendidikan yang telah didirikan oleh Belanda. Walaupun dengan batasan lapisan masyarakat, lembaga pendidikan, dan keterbatasan fasilitas pendidikan yang ada, sehingga banyak pemuda pribumi yang berhasil lulus baik, atas bantuan pemerintah Belanda, dikirim ke luar negeri (kebanyakan ke negeri Belanda) untuk melanjutkan studi mereka.

Dalam masa yang penuh tantangan dihadapkan dengan suasana kolonialisme, realitas politik berupa berlangsungnya proses pembodohan dan penindasan secara struktural yang dilakukan Belanda, berkat kemajuan pendidikan yang berhasil mereka raih berimplikasi pada peningkatan tingkat kesadaran politik,para pelajar dan mahasiswa merasakan sebagai golongan yang paling beruntung dalam pendidikan sehingga muncul tanggung jawab untuk mengemansipasi bangsa Indonesia.

Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.

Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.

Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.

Disamping itu, pada tahun yang sama dengan berdirinya BU oleh para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, dibentuk pula Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia,tahun 1925.

Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam,dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxis, dll menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju “kemajuan yang selaras” dan /atau terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.

Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.

2. Gerakan Mahasiswa 1928

Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.

Suatu gejala yang tampak pada gerakan mahasiswa dalam pergolakan politik di masa kolonial hingga menjelang era kemerdekaan adalah maraknya pertumbuhan kelompok-kelompok studi sebagai wadah artikulatif di kalangan pelajar dan mahasiswa. Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.

Lahirnya pilihan pengorganisasian diri melalui kelompok-kelompok studi tersebut, dipengaruhi kondisi tertentu dengan beberapa pertimbangan rasional yang melatari suasana politis saat itu. Pertama, banyak pemuda yang merasa tidak dapat menyesuaikan diri, bahkan tidak sepaham dan kecewa dengan organisasi-organisasi politik yang ada. Sebagian besar pemuda saat itu, misalnya menolak ideologi Komunis (PKI) maka mereka mencoba bergabung dengan kekuatan organisasi lain seperti Sarekat Islam (SI) dan Boedi Oetomo. Namun, karena kecewa tidak dapat melakukan perubahan dari dalam dan melalui program kelompok-kelompok pergerakan dan organisasi politik tersebut, maka mereka kemudian melakukan pencarian model gerakan baru yang lebih representatif.

Kedua, kelompok studi dianggap sebagai media alternatif yang paling memungkinkan bagi kaum terpelajar dan mahasiswa untuk mengkonsolidasikan potensi kekuatan mereka secara lebih bebas pada masa itu, dimana kekuasaan kolonialisme sudah mulai represif terhadap pembentukan organisasi-organisasi massa maupun politik.

Ketiga, karena melalui kelompok studi pergaulan di antara para mahasiswa tidak dibatasi sekat-sekat kedaerahan, kesukuan,dan keagamaan yang mungkin memperlemah perjuangan mahasiswa.

Ketika itu, disamping organisasi politik memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan lain-lain.

Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia: generasi 1928. Maka, tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi ini adalah menggalang kesatuan pemuda, yang secara tegas dijawab dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober1928, dimotori oleh PPPI.

3. Gerakan Mahasiswa 1945

Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk secara terbuka mentransformasikan eksistensi wadah mereka menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).

Seiring dengan keluarnya Belanda dari tanah air, perjuangan kalangan pelajar dan mahasiswa semakin jelas arahnya pada upaya mempersiapkan lahirnya negara Indonesia di masa pendudukan Jepang. Namun demikian, masih ada perbedaan strategi dalam menghadapi penjajah, yaitu antara kelompok radikal yang anti Jepang dan memilih perjuangan bawah tanah di satu pihak, dan kelompok yang memilih jalur diplomasi namun menunggu peluang tindakan antisipasi politik di pihak lain. Meskipun berbeda kedua strategi tersebut, pada prinsipnya bertujuan sama : Indonesia Merdeka !

Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.

Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.

Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok “bawah tanah” yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok itu dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pandangan antar generasi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memproklamasikan kemerdekaan. Saat itu Jepang telah menyerah kepada sekutu, dan pemuda (yang cenderung militan dan non kompromis) menuntut peluang tersebut segera dimanfaatkan, tetapi generasi tua seperti Soekarno dan Hatta cenderung lebih memperhitungkan situasi secara realistis. Tetapi akhirnya kedua tokoh proklamator itu mengabulkan keinginan pemuda, dan memproklamasikan negara Indonesia yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945.

Dengan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan saat itu, maka sekaligus menandai lahirnya generasi 1945 dalam sejarah Indonesia.

4. Gerakan Mahasiswa 1966

Suasana Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer,lebih diwarnai perjuangan partai-partai politik yang saling bertarung berebut kekuasaan. Pada saat yang sama mahasiswa sendiri lebih melihat diri mereka sendiri sebagai The Future Man ; artinya, sebagai calon elit yang akan mengisi pos-pos birokrasi pemerintahan yang akan dibangun. Dalam periode ini, pola kegiatan mahasiswa kebanyakan diisi dengan kegiatan sosial seperti piknik, olahraga, pers, dan klub belajar. Hal ini juga sebagian karena dipengaruhi oleh munculnya orientasi pemikiran untuk kembali ke kampus dan slogan kebebasan akademik yang membius semangat mahasiswa saat itu. Hanya sedikit perhatian diantara mereka untuk memikirkan masalah-masalah politik.

Namun demikian, di satu sisi masa itu juga ditandai dengan mulai aktifnya organisasi mahasiswa yang tumbuh berafiliasi partai politik dan aktivis mahasiswa yang memiliki hubungan dekat dengan elit politik nasional yang berperan dalam sistem politik.

Di sisi lain, ada pula perkembangan menarik yang terjadi dengan tumbuhnya aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.

Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan lebih bersifat underbouw partai-partai politik. Misalnya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.

Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI mendapatkan suasana menggembirakan setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. Sebagai wujud kegembiraan namun sekaligus kepongahan, CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961. Persaingan ini mencapai puncak nantinya tatkala terjadi G30S/PKI.

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), seiring dengan upaya pemerintahan Soekarno untuk mengubur partai-partai, maka kebanyakan organisasi mahasiswa pun membebaskan diri dari afiliasi partai dan tampil sebagai aktor kekuatan independen, sebagai kekuatan moral maupun politik yang nyata.

Tragedi nasional pemberontakan G30S/PKI dan kepemimpinan nasional yang mulai otoriter akhirnya menyebabkan Demokrasi Terpimpin mengalami keruntuhan.

Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.

Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.

5. Gerakan Mahasiswa 1974

Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer yang berposisi sebagai pendukung kemapanan.

Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru.namun meskipun demikian pada umumnya kepercayaan terhadap rezim yang berkuasa tetap ada.

Tetapi, kesabaran mahasiswa mulai menuju titik batasnya setelah penantian akan terkabulnya cita-citanya perubahan yang dijanjikan tidak mendapatkan respon yang sewajarnya. Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan “Mahasiswa Menggugat”yang dimotori Arif Budiman,dkk yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.

Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK). Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.

Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.

Akibat dari permainan rekayasa dan kebijakan kooptasi tersebut, muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung N, Asmara Nababan,dkk.

Dalam tahun 1971, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.

Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya peristiwa Malari tahun 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta mngajukan isu ”ganyang korupsi” sebagai salah satu tuntutan “Tritura Baru” disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya.

Terlepas dari semua distorsi mengenai kisah gerakan mahasiswa 1974,antara lain: tidak adanya perubahan monumental yang ditinggalkan, gerakan mahasiswa yang ditunggangi, konflik dan konspirasi elit di pusat kekuasaan versi Jenderal Sumitro versus Ali Moertopo, dll bagaimana pun harus diakui bahwa perjuangan mahasiswa 1974 telah menjadi sebuah episode yang bersejarah.

6. Gerakan Mahasiswa 1978

Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes tetap ada namun aksi-aksi itu pada umumnya tidak lagi gaung yang berarti.

Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif.Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai burning isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat “lokal”.

Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan “berkampanye”di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian , upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa.

Mahasiswa bukan tidak memahami ataupun menyadari berbagai risiko buruk yang bakal dialami akibat gerakan protes mereka. Justru karena itulah, untuk menjaga agar dampak gerakan tidak mengulangi kembali malapetaka 1974, mahasiswa mempertahankan gerakan aksi mereka sebagai gerakan moral semata. Artinya, bahwa gerakan mereka lebih menonjolkan perannya sebagai kekuatan moral dan kontrol kritis terhadap berbagai penyimpangan kekuasaan, dan bukan sebagai aksi yang berorientasi politik praktis, serta menghindarkan pengaruh vested interest kelompok politik tertentu yang ingin memperalat atau “mengendarai” gerakan mahasiswa.

Pada titik ini ada yang menarik untuk dicatat yaitu terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus itu; disamping penyebabnya adalah karena mahasiswa dianggap telah melakukan “pembangkangan politik”, penyebab lain sebenarnya adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus.

Jadi, karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk mennghindari seperti tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer,malahan dengan cara yang brutal.

Akhir cerita, Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.

7. Gerakan Mahasiswa di Era NKK/BKK

Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.

Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik,dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK,pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.

Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan,pengarahan,dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.

Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis,sementara posisi rezim semakin kuat.

Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Kenyataannya, kelompok studi lebih berfungsi sebagai information actions dengan tujuan the distribution of critical information bagi mahasiswa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa.

Perbedaan kedua bentuk wadah ini adalah : jika kelompok studi merupakan bentuk pelarian dari kepengapan kampus dengan ciri gerakannya yang bersifat teoritis, maka LSM menjadi tempat pelarian mahasiswa yang memilih jalur praktis.

Dalam perkembangan berikutnya bermunculan pula berbagai wadah-wadah lain berupa komite-komite aksi untuk merawat kesadaran kritis mahasiswa.

Beberapa kasus “lokal” yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB, dsb.

Timbul beberapa pertanyaan mengapa gerakan mahasiswa umumnya hanya mengusung agenda isu lokal dan cenderung marjinal ? mungkin jawabannya adalah :

1. Ketidakberanian untuk menyentuh masalah yang dinilai terlalu sensitif,dan bebannya berat secara politis.

2. Ketidaksanggupan menangkap dan mengungkapkan masalah-masalah fundamental yang lebih signifikan terutama yang bersifat politik nasional sebagai burning issue.

3. Strategi mahasiswa dengan mempertimbangkan kondisi struktural sistem politik Orde Baru yang terlalu mudah bertindak represif.

Jawaban-jawaban tersebut sangat terbuka untuk diperdebatkan, tetapi ada efek lain yang tampaknya harus diperhitungkan,bahwa justru dengan kecenderungan mengangkat isu-isu lokal dan bergerak di wilayah pinggiran itu, disadari atau tidak mahasiswa telah melakukan revitalisasi orientasi model pendekatan dengan membangkitkan kesadaran dan kepercayaan diri rakyat agar mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak individu dan sosialnya.

8. Gerakan mahasiswa 1990

Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.

Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini dalam eksperimentasi demokrasi. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.

Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.

9. Gerakan Mahasiswa 1998

Lahirnya gerakan mahasiswa 1998 dengan segala keberhasilannya meruntuhkan kekuasaan rezim orde baru, bagaimanapun merupakan akibat dari akumulasi ketidakpuasan dan kekecewaan politik yang telah bergejolak selama puluhan tahun dan akhirnya “meledak”.

Secara obyektif situasi pada saat itu, sangat kondusif bagi gerakan mahasiswa berperan sebagai agen perubahan. Krisis legitimasi politik yang sudah diambang batas, justru terjadi bersamaan dengan datangnya badai krisis moneter di berbagai sektor. Di sisi lain secara subyektif, gerakan mahasiswa 1998 telah belajar banyak dari gerakan 1966 dengan mengubah pola gerakan dari kekuatan ekslusif ke inklusif dan menjadi bagian dari kekuatan rakyat,

Sasaran dari tuntutan “Reformasi” gerakan mahasiswa dan kelompok-kelompok lain yang beroposisi terhadap rezim Orde Baru, antara lain adalah perubahan kepemimpinan nasional. Soeharto harus diruntuhkan dari kekuasaan, tidak akan ada reformasi selama Soeharto masih berkuasa. Namun demikian, kenyataan menunjukkan suara-suara kritis yang menuntut perubahan, tidak mendapatkan jawaban sebagaimana yang diharapkan dari rezim yang berkuasa, terlebih oleh Golongan Karya (Golkar) yang dengan enteng mencalonkan kembali Soeharto. Menjelang pelaksanaan Sidang Umum MPR 1998, dari kalangan tokoh-tokoh kritis mengajukan calon alternatif Presiden maupun Wakil Presiden, antara lain: Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Emil Salim.

Kenyataan menunjukkan, calon-calon tandingan versi masyarakat tidak mendapatkan tanggapan dari kekuatan politik di MPR, Soeharto dipilih kembali sebagai Presiden dan B.J. Habibie sebagai Wakil Presiden. Aksi-aksi mahasiswa yang marak mengajukan protes dan keprihatinan, seolah-olah dianggap angin lalu, sedangkan hasil-hasil dialog dengan berbagai fraksi menuntut agenda Reformasi hanya “ditampung” dalam artian kasar = ditolak.

Berbagai kontroversi kemudian timbul dimasyarakat, berkenaan dengan pengalihan kekuasaan ini. Pertama, pandangan yang melihat hal itu sebagai proses inkonstitusional dan sebaliknya pandangan kedua, yang menganggapnya sudah konstitusional. Sikap ABRI terhadap proses peralihan ini secara formal adalah mendukung, lalu bagaiman dengan mahasiswa ?

Menyambut turunnya Soeharto, sejenak mahasiswa benar-benar diliputi kegembiraan. Perjuangan mereka satu langkah telah berhasil,tetapi kemudian timbul keretakan di antara kelompok-kelompok mahasiswa mengenai sikap mahasiswa terhadap peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie. Berhadapan dengan peristiwa peralihan ini mahasiswa tidak siap, mereka hanya dipersatukan oleh isu utama perlunya Soeharto dipaksa untuk mengundurkan diri. Soal yang terjadi kemudian, agaknya jauh dari antisipasi mahasiswa dan pro reformasi.

Tetapi bagaimanapun, mahasiswa 1998 melalui perjuangannya telah memberikan sesuatu hal yang monumental bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan tatanan kenegaraan yang lebih baik di masa depan.

Satu hal yang harus diingat, Reformasi Total merupakan sebuah proses yang tidak sekali jadi, tetapi membutuhkan waktu dan political will yang sungguh-sungguh dari pemegang kekuasaan. Karena itu, kontrol kritis dan tekanan politik dari mahasiswa harus tetap ada di masa sekarang dan akan datang.

Disusun oleh : A.A. Gede Putra Partanta, Ketua Biro Litbang, PD KMHDI Jawa Timur 1997-2000

Sumber: http://www.bluefame.com

Read rest of entry

Rekonstruksi Posisi dan Visi Mahasiswa untuk tegaknya Syariah & Khilafah

ImageOleh : Adi Wijaya*

Bulu temmaruttunna Allah Taala kuonroi maccalinrung, Engkaga balinna Allah Taala na engka balikku; Mettekka tenribali, massadaka tenri sumpala

(Ibarat Gunung yang takkan runtuh kecuali seijin Allah SWT, Tuhan tempatku berlindung. Takkan ada yang dapat menandingiku, kecuali jika ada yang dapat menandingi Allah yang Maha Kuasa, petuahku tak terbantahkan, pendapatku dan tersanngah kebenarnnya.)

Pepatah bugis diatas setidaknya mampu menjadi pemantik semangat mahasiswa Islam, hanya kepada Allah SWT kita berlindung dan kebenaran Islam yang kita usung adalah kebenaran yang tak terbantahkan karena kebenarannya besandar dan bersumber dari Allah SWT., itulah mengapa opini perjuangan penegakan syariat Islam dalam naungan khilafah, bak perguliran bola salju yang terus membesar. Menarik siapa saja yang ada disekelilingnya untuk berkonstribusi aktif di dalamnya dan menggilas siapa saja yang mencoba merintanginya. Gaungnya pun terus membahana sampai ke pelosok negeri dan merambah seluruh strata sosial masyarakat, termasuk didalamnya komponen mahasiswa yang dianggap sebagai entitas yang konon memiliki kemampuan intelektual diatas rata-rata.

Mahasiswa dan pemuda sebagai salah satu bagian dari umat, yang memiliki daya nalar kritis ditopang naluri perubahan yang terus menggelora, seharusnya memposisikan dirinya sebagai lokomotif perubahan, yang akan membawa negeri ini menuju tatanan kehidupan yang lebih baik. Bahkan seharusnya mahasiswa harus mampu tampil di garda terdepan sebagai sang penyelamat dunia dari hegemoni ideologi kapitalisme yang saat ini berhasil memimpin sekaligus menghancurkan dunia.


Tidak sedikit catatan sejarah yang menunjukkan peran penting pemuda dan mahasiswa yang berhasil menjadi pemantik perubahan ditengah-tengah masyarakat. Sosok tegar pemuda Nabi Ibrahim Alaihis Salam yang terus melancarkan serangan-serangan intelektual kepada kaumnya, bahkan ayahnya sendiri agar mereka tidak menyembah patung-patung buatan manusia yang sedikit pun tidak mampu mendatangkan manfaat dan mudharat kepada mereka. Kegigihan Nabi Ibrahim Alaihis Salam akhirnya membawa angin segar ditengah masyarakat. Perubahan sejati yang begitu berarti disaat ia mampu membebaskan kaumnya dari penyembahan berhala menuju penyembahan dan ketaatan mutlak kepada Allah SWT.

Ada lagi kisah ashabul kahfi, yang terdiri dari tujuh pemuda yang ditidurkan oleh Allah SWT selama 300 tahun. Mereka adalah pemuda yang tetap berpegang teguh pada aqidah yang benar dan menolak menyembah nenek moyangnya.

Dijaman Rasulullah SAW banyak sekali bertebaran sosok pemuda intelek dengan gerak yang revolusioner, setia menjadi pendamping Rasulullah dalam perjuangan menegakkan agama Allah dan menghinakan kekufuran. Sebut saja sosok pemuda Arab nan tampan, Mus’ab bin Umair yang diutus oleh Rasul ke Madinah untuk melebarkan sayap dakwah. Pemuda Mus’ab, mengukir prestasi yang gemilang ketika membawa Islam ke Madinah, hingga tak ada satupun rumah yang tidak dimasuki oleh Islam. Kondisi inilah yang menjadi awal lahirnya negara Islam pertama di Madinah.

Sejarah diatas seharusnya mampu menjadi inspirasi dan penggelora semangat dikalangan pemuda dan mahasiswa diabad milenium ini. Rahasia utama sekaligus menjadi motor penggerak yang membuat Nabi Ibrahim Alaihis Salam, Ashabul kahfi, dan Mus’ab bin Umair mampu melakukan perubahan sosial di tengah masyarakat adalah kristalisasi ideologi yang mengakar kuat dalam diri mereka. Ideologi yang telah terkristal dalam sanubari Mus’ab bin Umair yang mampu mengerakkannya melakukan perubahan masyarakat yang sangat gemilang di Madinah, sama dengan ideologi yang bersemayam dihati para pemuda dan mahasiswa pejuang Islam ideologis saat ini. Artinya bukan hal yang mustahil mahasiswa saat ini kembali mengukir prestasi layaknya Nabi Ibrahim Alaihis Salam, Ashabul kahfi, dan Mus’ab. Karena memiliki modal yang sama yaitu kritalisasi ideologi. Ideologi yang mampu mengantarkan kita pada penghambaan kepada Allah SWT.

Namun pergerakan mahasiswa Islam bukanlah pergerakan yang hanya bermodal semangat tanpa visi dan misi perjuangan yang jernih. Mahasiwa adalah dokter umat, bertugas mengobati umat yang saat ini sementara menderita penyakit akut diseluruh aspek kehidupannya. Laksana seorang dokter, sebelum meberikan resep obat dan melakukan terapi, hal pertama yang harus dilakukan adalah mendiagnosis penyakit apa sebenarnya yang menjangkiti sang pasien.

Sebelum bergerak lebih jauh, mahasiswa sebagai agent of change terlebih dahulu harus menganalisis permasalahan faktual yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Teka teki pertama yang harus dijawab adalah apakah problem yang terjadi ditengah masyarakat adalah permasalah sosial ataukah permasalahan individu? Pertanyaan ini perlu untuk dijawab dengan analisis yang cerdas dan cermat. Karena jawaban ini akan menentukan solusi apa yang akan diberikan untuk mengeluarkan masyarakat dari keterpurukan dan kesempitan hidup.

Sangat memiriskan hati disaat melihat negeri Indonesia nan elok permai ini, negeri yang dijuluki sebagai zamrud khatulistiwa, dan berpenduduk muslim terbesar di dunia, ternyata masih dikungkung dengan sejuta masalah dan penderitaan yang belum juga kunjung selesai.

Tengok saja bagaimana kasus aborsi. Pada tahun 2008 Voice of Human Rigths melansir aborsi di Indoensia menembus angka 2,5 juta kasus. Jika dirata-rata maka dalam waktu sejam ada 288 wanita yang menggugurkan kandungannya. Dan yang lebih mencengangkan lagi ternyata 700 ribu kasus diantaranya dilakukan oleh remaja dibawah usia 20 tahun.

Diperparah dengan kampanye pergaulan bebas yang dilakukan dengan sangat masiv oleh para pengusung liberalisme dan antek-anteknya dengan modus operandi yang begitu beragam. Pergaulan bebas dikampayekan dalam film remaja dan berbagai sinetron. Seperti kisah prostitusi terselubung yang dilakukan oleh pelajar dalam film “Virgin” atau “Buruan Cium Gue” yang mengajak remaja dan kalangan mahasiswa untuk melakukan seks bebas. Anehnya virus-virus penghancur akidah dan akhlak umat yang bermetamorfosis dalam bentuk film ini, justru mendapatkan legitimasi dari pemerintah.

Setali tiga uang dengan bidang pendidikan. sektor dimana kalangan mahasiswa banyak bergelut. Pendidikan yang menjadi salah satu penentu kegemilangan masa depan bangsa, kondisinya sangat menyedihkan. Menurut hasil survey UNDP yang dikeluarkan pada tanggal 18 Desember 2008, kualitas Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia ternyata hanya menduduki peringkat 109 dari 179 negara di dunia. Sangat berbeda dengan kondisi umat Islam pada masa kekhilafahan yang mampu menjadi kiblat perkembangan pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.

Diperparah dengan ancaman komersialisasi pendidikan, yang telah menjadi kenyataan ketika perguraun tinggi berubah menjadi PT BHMN (Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara) yang kemudian diperkuat dengan UU BHP. Memang semuanya dikemas sedemikian apik sehingga terlihat bagus seperti alasan meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan jaminan mutu. Namun kenyataan tak seindah janji. Semua janji itu hanya tinggal janji yang tersisa adalah usaha untuk mengkomersialkan pendidikan. Cirinya adalah peran negara diminimalkan dan pendidikan dikembalikan kepada rakyat. Ujung-ujungnya yang muncul adalah masalah pendanaan. Perguruan tinggi harus bantingtulang mencari dana untuk terselenggaranya proses pendidikan. Mulai dengan membuka bisnis yang akhirnya menciptakan lembaga pendidikan yang profit oriented. sampai dengan cara yang paling mudah meriah (dan inilah yang banyak dilakukan sekarang) menaikkan biaya pendidikan. Walhasil pendidikan menjadi mahal.

Dari fakta diatas, dapat menjadi bahan acuan untuk menganalisis problematika apa sebenarnya yang muncul. Problem individu ataukah problem sosial? Jika kuantitasnya kecil dan sebarannya terbatas hanya pada sebagian kecil masyarakat saja, maka ini merupakan indikasi kuat bahwa permasalahan ini adalah permasalahan individu yang solusinya cukup dengan solusi individual yang bersifat reformatif.

Namun ketika fenomena itu memiliki kuantitas yang besar, penyebarannya meluas hampir diseluruh sektor kehidupan masyarakat, maka problem sebenarnya yang timbul adalah problem sosial yang membutuhkan solusi yang sifatnya sistemik dan fundamental.

Nah, jika melihat fakta disekitar kita, krisis dan keterpurukan yang terjadi hampir merambah seluruh aspek kehidupan. Maka wajar jika sebagian kalangan mengistilahkan krisis yang terjadi di Indonesia adalah “krisis multidimensional”. Mulai dari pemerintahan yang kental dengan budaya korupsi dan mental yang oportunistik, tatanan ekonomi yang dijalankan dengan manajeman kapitalistik, pendidikan yang telah terwanai dengan corak yang materialistik, sampai budaya hidup yang hedonistik dan permisif, merupakan fakta yang akan menggiring analisis kita pada muara kesimpulan, bahwa problematika yang menjangkiti negeri ini adalah problem sosial yang membutuhkan solusi sistemik. [Source]

Read rest of entry
 

NO COPYRIGHT © IN ISLAM 2009 - BADAN KOORDINASI LEMBAGA DAKWAH KAMPUS KOTA BALIKPAPAN MADINATUL IMAN - KALTIM